Kamis, 27 April 2017

Prematur by tere Liye

Ada sebuah organisasi, lantas kita nilai dia esktrem, radikal. Lantas apakah seperti itu? Belum tentu. Kebanyakan penilaian kita hanya dari berita2 di media. Kita hanya menilai dari hasil penilaian orang lain (sudut pandang wartawan, redaksi).

Akuilah, banyak sekali penilaian kita ke orang lain, kelompok, agama, atau apapun itu, hanya berdasarkan praduga kita saja. Apakah kita benar2 mengenalnya? Pernah berinteraksi, pernah bergaul langsung? Nyatanya tidak. Kita harus mau mengakui ini, kalau mau beranjak lebih dewasa dalam bersikap.

Contoh yang menarik misalnya. Hanya karena kita mahasiswa kampus ABC (maaf jadi kayak merk kecap, ini hanya misal untuk menunjukkan situasinya), apakah kita bisa menilai rektor kampus ABC? Tidak. Ketemu sama rektor tidak pernah, berinteraksi tidak pernah, apalagi sampai menginap 3 malam di rumah/kantornya, ikut menyaksikan rektor sehari-hari, tidak pernah, lantas bagaimana kita bisa menilai ttg rektor tersebut? Lantas kita gaya sekali menghakimi rektornya? Duuh... Contoh berikutnya, kita menyaksikan sebuah liputan berita/video selama 30 detik atas sebuah kejadian. Apakah kita bisa membuat kesimpulan, penilaian atas pihak2 yg terlibat dalam video itu? Juga tidak. Duuh, 30 detik itu hanya debu dibanding ribuan detik sehari semalam. Apalagi hanya membaca sebuah berita, artikel. Itu tidak bisa jadi dasar menghakimi orang/kelompok lain.

Jika kita ingin dunia ini menuju masyarakat yang damai dan toleran, maka mulailah dengan menyingkirkan ‘penilaian2’ kita atas orang lain. Bagaimana mungkin kita akan menjadi juru damai, saat kita sendiri juga menimbun kebencian di dalam hati. Sia-sia semua kalimat bijak, manis yang kita keluarkan, saat kita juga berprasangka buruk ke kelompok2 tertentu. Itu betul, kita kadang punya pembenaran, kelompok ini juga ‘benci’ ke saya/ke kelompok saya kok, jadi sah-sah saja juga benci. Tapi hei, belum tentu jelas ‘benci’ orang lain ke kita, yg sudah pasti, kitalah yg jelas2 sudah benci sekali.

Berhenti meninggikan diri sendiri. Berhenti merasa paling berhak memberikan penilaian. Berhenti merasa paling bermoral. Kadang kita lupa sekali loh, saat ribut tentang politik. Kita merasa paling hebat. Padahal tidak. Dalam demokrasi misalnya, satu suara ulama, satu suara penjahat sama levelnya. Cuma dihitung satu. Lantas kita merasa suara kita paling berharga? Kita paling tahu kebenaran dan moralitas? Kan tidak. Suara kita juga tetap satu nilainya.

Kalau kita memang tidak tahan betul ingin berkomentar dan menunjukkan itu semua, maka fokuslah pada masalahnya. Misal, jika kita benci sebuah agama, saat ada pemeluknya yg jahat, maka bencilah pada pelakunya, bukan malah pada seluruh agamanya. Jika kita benci dengan sebuah kelompok, maka bencilah pada kelompok itu, fokus, spesifik, bukan malah menyebar kemana2. Dibawa-bawa lah, agama, suku bangsa, ras, dll. Itu namanya prematur.

Terakhir, wabilkhusus, ijinkan saya mengingatkan nasihat seorang guru mahsyur, beliau pernah menulis tips saat menilai orang lain. Sungguh indah, berlinang air mata membaca nasihatnya (sy tuliskan ulang dengan gaya bahasa saya):

1. Anakku, jika engkau bertemu orang yang masih muda, maka penilaian terbaik kita: “Duh, orang ini belum banyak durhaka kepada Allah sedangkan aku sudah banyak durhaka pada Allah. Tidak diragukan lagi orang ini lebih baik dariku’.

2. Jika bertemu orang yang lebih tua, maka jika hendak menilainya, katakanlah: ‘Ya Allah, dengan usianya, orang ini sudah beribadah lebih banyak sebelum aku, dengan begitu tidak diragukan lagi bahwa dia lebih baik dariku’.

3. Jika bertemu orang alim (berilmu), maka bukan dihakimi, dituduh yang tidak2, melainkan katakanlah, ‘Wahai, orang ini sudah diberi kelebihan ilmu yang tidak diberikan kepadaku. Dia menyampaikan suatu kebaikan kepada orang lain sedangkan aku tidak menyampaikan apa-apa. Maka bagaimana mungkin aku sama dengannya?’

4. Jika bertemu dengan orang bodoh, kurang ilmu dan wawasan, juga bukan dihakimi, melainkan, katakan dalam hatimu, ‘Orang ini memang boleh jadi sudah durhaka kepada Allah karena ketidaktahuannya sedangkan aku durhaka kepada Allah dengan pengetahuanku, maka aku lebih celaka dibanding orang ini. Sungguh malang diriku jika justeru menganggapnya bodoh’.

5. Terakhir, jika bertemu orang kafir, maka katakan dalam hatimu, ‘Duuh, aku tidak tahu, bisa jadi dia besok2 masuk Islam dan mengisi akhir hidupnya dangan amal kebaikan. Sedangkan aku, bisa jadi tersesat dari Allah (karena tidak mau meningkatkan iman) dan hidupku berakhir dengan amal buruk.’

Demikianlah nasihat guru. Jika kita bersedia merenungkan lima nasihat ini, sungguh kita tidak akan berani lagi menilai orang lain sembarangan.

*dikutip dari catatan Tere Liye*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar